Seringkali ketika kita kuliah di luar kota katakanlah di Jogja, Semarang, Bandung atau bahkan Jakarta, diri kita yang asli berubah, Kita berubah jadi orang yang bukan orang Pekalongan. Logat dan bahasanya sudah tak lagi Wong Kalongan. Padahal tidur dan kencing di sini.
Akibatnya kota Pekalongan gitu-gitu aja. Boro-boro maju seperti kota-kota besar di Indonesia, kota Pekalongan justru makin tenggelam dalam keputusasaan. Karena kita melupakan apa yang seharusnya dibangun dan diperjuangkan. Yang berbeda dengan kota-kota lainnya. Padahal sebenarnya kota seluas 70 km persegi ini punya potensi untuk sejajar dengan kota-kota lain. Kita punya peradaban yang tak kalah keren. Sayangnya, kita malas untuk menggali. Malas untuk menguliknya agar jadi daya tawar yang hebat.
Jogjakarta tak bisa menjadi sekarang jika orang-orangnya dengan konsisten menjadi dirinya sendiri—yang pasrah dan opo onone. Ora dadi opo-opo yo ora masalah. Jogja tak perlu menjadi Jakarta untuk dikenal dunia. Hidup santai dan tidak terlalu ngoyo seperti Jakarta adalah jalan terbaik bagi warganya.
Lantas bagaimana agar kita bisa memperkenalkan kota Pekalongan ke dunia, selain Batik tentu saja? Tampaknya kita perlu memperkaya dengan khazanah-khazanah lokal yang masih tersimpan rapi di alam bawah sadar wong kalongan.
Bener ora loh? Yakin Po’o leh.
Menjadi lokal di era tanpa ruang dan waktu seperti sekarang ini tidak perlu takut lagi dicap kuno. Justru sebaliknya, ketika kita lebih menjiwai diri kita sebagai wong kalongan, ciri khas kita sebagai manusia tidak bisa ditiru lagi oleh orang lain. Ibarat sidik jari dan garis tangan yang khas dan berbeda.
Semangat Kedaerahan yang Selalu Membawa Berkah
Seharusnya kita tak perlu lagi memulai gagasan mutlak priordialisme ini bakal menguntungkan dalam jangka pendek atau tidak. Karena sudah banyak sekian bukti orang dari daerah justru bisa nge-top karena membawa isu-isu lokalitas. Misalnya saja konten kreator seperti Bayu Skak yang berangkat dari nilai-nilai lokalitas sebagai Wong Malang.
Kita masih ingat waktu masih jaman main PS-an, Bayu Skak,https://www.instagram.com/moektito/ mengunggah konten-konten receh sekitar rumahnya. Tema-tema keseharian Wong Malang yang cukup keras gaya bahasanya. Ia telaten dengan gaya seperti itu. Lalu entah keajaiban atau berkah, nama Bayu Skak mulai merangkak naik. Ia ikut casting film layar lebar. Youtuber asal Jawa Timur ini pertama kali main di film Check in Bangkok (2015).
Yang mengesankan adalah bagaimana Bayu Skak konsisten membawa logat Malang. Bahkan Cah Malang kelahiran 1994 ini berani menantang arus. Ia bereksperimen membuat film yang mengangkat bahasa kedaerahan—tempat dimana dia lahir, yaitu Malang.
Hasilnya? Film Yowes Ben Bayu Skak ditonton oleh 925.622 orang. Lalu sekuel kedua Yowes Ben ditonton lebih dari 1 juta orang Indonesia. Pencapaian yang boleh dibilang menggembirakan. Artinya ketika kita mengangkat tema kedaerahan, ada potensi di sana.
Menurut hemat penulis, kita bisa meneladani keberanian Bayu Skak untuk menjadi dirinya sendiri di tengah lumrahe wong Jakarta. Yowes Ben adalah fillm pertama Bayu Skak yang mengangkat dinamika band yang berasal dari daerah. Film yang menurut penulis cukup sukses juga menghadirkan semangat kedaerahan.
Piye? Asline ndewe Yo juga biso. Nek udu nggon ndewe sopo maneh? Ndewe biso lho sebenere koyo Bayu Skak. Turah-turah. Nek wani ayo nggawe karya sing biso manfaat kanggo wong kalongan dewe. Ra usah kakean fafifu.
Lhesske.