Oleh Saiful Ibad 19 Juni 2025
Entah dari mana uangnya, pria ini berhasil mengoleksi bonsai puluhan juta di depan rumahnya. Pekerjaanya dulu hanya sebagai petugas sampah di bawah naungan Dinas Lingkungan Hidup. Ia digaji sangat jauh dari UMR.
“Ndak mas pertama 400 ribu… terus naik 700 ribu, naik lagi 900 ribu, terakhir 1,1 juta,” ujar mantan petugas sampah Klego.
Bayangkan hidup di kota Pekalongan dengan gaji segitu, cukupkah? Hanya orang yang ikhlas saja yang berani bilang cukup. Saya sendiri mungkin tidak akan berani. Sebab UMK Kota Pekalongan berdasarkan aturan terbaru sudah menyentuh angka 2,5 jutaan. Mau dicarikan darimana kekurangan, lebih dari setengah kebutuhan per bulan itu?
Begitulah Ahmad Batin bertahan dari gaji yang jauh dari kata layak, bertahun-tahun dalam kurun waktu 2009-2015. Untuk memenuhi kebutuhan dia harus memilah-milah sampah mana yang sekiranya masih berguna dan bisa dijadikan duit. Biasanya sampah seperti botol bekas, kardus, kaleng-kalengan dipisah. Itu bisa jadi duit walaupun nggak seberapa.
Kalau dilihat dari risiko, pekerjaan sebagai petugas sampah di Kelurahan Klego ini cukup berbahaya. Gas metan yang menguap dari tumpukan sampah diam-diam mematikan. Ia bisa menyebabkan masalah jantung, pernapasan hingga sistem neurologis dalam jangka panjang.
Pekerjaanya sebagai tukang sampah jelas jauh dari kata sejahtera. Ia sempat mengeluhkan ketika temannya meninggal tidak ada santunan sama sekali dari pihak dinas. Hal itu membuat dirinya tak terlalu berharap dengan pemerintah setempat. Yang ia pikirkan saat itu adalah bagaimana nasibnya di masa depan—ketika tenaga makin lama makin lemah. Apa iya kerja di sampah terus sampai tua?
Menyemai Harapan Lewat Bonsai
Sampah memang jadi penyambung hidup bagi Ahmad Batin dan keluarga. Tapi ia tak mau menua bersama tumpukkan sampah. Makanya ia menyemai harapannya pada tanaman bonsai. Bonsai-bonsai inilah yang jadi harapan kedua.
Saya penasaran darimana pak Ahmad ini bisa membeli puluhan bonsai itu? Satu bonsai dengan batang sebesar dua kepal tangan saja harganya belasan juta. Belum lagi puluhan jenis bonsai lainnya yang harganya tidak seratus dua ratus.
Saya tak mendapat jawaban paten dari pertanyaan itu. Tapi yang pasti menurut Ahmad Batin, kabeh wes ono sing ngatur. Ada saja rezeki yang datang dan bisa untuk membeli bonsai. Yang penting mau gerak memanfaatkan apa yang ada. Batin yakin bahwa Allah SWT akan mencukupi hambanya meski gajinya jauh dari angka minimum daerah.
Ia tetap bersyukur yakin bahwa rezeki bisa datang dari hal-hal yang tak disangka-sangka.
Kendati belum mendapat uang dari merawat bonsai, tapi Batin percaya ketika pohon-pohon itu makin tua usia, makin mahal harganya. Apalagi jika setiap sebulan atau dua bulan sekali, ranting-ranting bonsai ditata. Tentu nilai jual bonsai bakal lebih meroket lagi. Ia dengar sendiri dari kawan-kawannya pecinta pohon mini, bahwa ada bonsai yang ditawar 100 juta tapi tak dilepas.
“Ya merawat bonsai itu butuh telaten dan sabar mas. Ini aja (sambil nunjuk bonsai yang agak besar) pernah ditawar 15 juta nggak tak kasih,” ujar Batin.
Batin tak mau buru-buru memanen apa yang sudah ia tanam. Biarlah kebutuhan sehari-hari bersama sang istri dicukupi dari mengolah sampah. Ia dedikasikan hidupnya menjaga kebersihan kelurahan Klego. Sambil memanfaatkan limbah sayur mayur untuk dijadikan pupuk organic buat tanamannya.
Terpaksa Pensiun dari Dunia Persampahan
Barangkali bukan kelurahan Klego saja yang terdampak, tapi semua kelurahan yang ada di kota Pekalongan sejak diedarkannya penutupan TPA Degayu. Aktivitas Batin berhenti sejak akhir bulan Maret. TPA Degayu overload. TPA lainnya pun ikut tutup.
Walhasil orang seperti Batin ini yang kapiran. Ia mencari nafkah dari sampah. Ia diberhentikan dari pekerjaannya sebagai petugas sampah di TPA Klego. Sayangnya pengabdian Batin tidak berakhir happy ending. Ia dilepas tanpa memperoleh uang pensiun. Uang BPJS Ketenagakerjaan ketika dicek tidak ada saldo dan hanya bisa dicairkan ketika sudah meninggal.
Sebagai manusia, Batin merasa tidak dihargai. Ia merasa terbuang meski sempat dielu-elukan sebagai pahlawan sampah di daerahnya.“16 tahun ngabdi sama DLH kaya sampah juga mas. Dibuang begitu saja,” keluh Batin.
Harusnya jika pemerintah serius ingin menangani sampah, kesejahteraan petugas sampah mesti dipikirkan. Mereka inilah garda terdepan dalam hal persampahan. Kalau tidak ada mereka sampah berserakan dimana-mana. Saatnya mereka yang mengurusi sampah diberi gaji yang layak.
Editor
Saiful Ibad
Penulis
Yuk bikin kota Pekalongan lebih sehat lebih bersih lagi biar tempat kita ini makin maju. Dan tentu saja bebas sampah dan limbah yang bikin tubuh nggak sehat.

Serba-Serbi
MENANAM ARSIP SOSIAL KRAPYAK
Posted on

Serba-Serbi
“MELENTING DENGAN SEMANGAT KEDAERAHAN”
Posted on

Mak Lhess
Wong Kalongan
Posted on

Uci-Uci
TERIMA KASIH BOSO KALONGAN
Posted on

Serba-Serbi
KOLEKDOL BONSAI : AKHIR KISAH PETUGAS SAMPAH
Posted on

Serba-Serbi
MENANAM ARSIP SOSIAL KRAPYAK
Posted on

Serba-Serbi
“MELENTING DENGAN SEMANGAT KEDAERAHAN”
Posted on

Serba-Serbi
Cuma Contoh Lagi Liputan Sepuluh
Posted on

Serba-Serbi
Cuma Contoh Liputan Sepuluh
Posted on

Serba-Serbi
Hanya Contoh Lagi Liputan Sepuluh
Posted on

Serba-Serbi
Contoh Lagi Liputan Sepuluh
Posted on

Serba-Serbi
Sample Artikel Serba-Serbi
Posted on

Serba-Serbi
Contoh Liputan Tujuh
Posted on

Serba-Serbi
Contoh Liputan Delapan
Posted on
